Oleh: Chandra Mokoagow
Dalam sejarah Timur Tengah modern, konflik antara Iran dan Israel telah lama dipahami sebagai perseteruan ideologis dan geopolitik. Namun sejak 2024, gesekan itu meningkat tajam menjadi eskalasi militer terbuka di pertengahan 2025. Rudal, drone, pembunuhan tokoh, serangan siber, hingga perang proksi menjadi bukti bahwa perang ini bukan lagi ancaman masa depan, ia telah berlangsung. Dan Amerika Serikat, sekali lagi, menempatkan dirinya sebagai sponsor utama kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina dan terhadap poros perlawanan yang dipimpin Iran.
Selama dua dekade, Iran memainkan taktik pertahanan aktif: membangun pengaruh lewat proksi, memperkuat militer dalam negeri, dan memperluas aliansi dari Gaza hingga Beirut, dari Damaskus hingga Sana’a. Tetapi kini, strategi Iran berubah.
Untuk pertama kalinya, Iran meluncurkan serangan langsung ke wilayah Israel, sebuah langkah simbolik sekaligus strategis. Serangan itu membuktikan dua hal: bahwa Teheran siap membayar harga politik dan militer dari sebuah konfrontasi langsung, dan bahwa Israel tak lagi kebal dari balasan.
Langkah ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia adalah jawaban terhadap genosida terang-terangan yang dilakukan Israel di Gaza, dengan dukungan penuh dari Washington. Ketika rumah sakit dibom dan anak-anak dibantai atas nama “hak membela diri,” Iran membaca situasi ini sebagai pertarungan antara nilai dan kekuasaan. Dalam perspektif Teheran, dunia Islam tidak bisa lagi bersembunyi di balik diplomasi hampa.
Tak dapat dipungkiri, setiap langkah militer Israel selalu memiliki bayangan Amerika di belakangnya. Bantuan senjata, veto atas resolusi PBB, pelindungan diplomatik, serta kehadiran militer aktif AS di Timur Tengah menjadikan konflik ini tidak lagi sekadar konflik regional, melainkan perang antara poros dominasi global dan poros kemerdekaan. Iran menyadari itu. Ketika Ayatollah Khamenei menyebut AS sebagai “setan besar”, itu bukan retorika kosong. AS telah menjadi sponsor utama dari upaya pembungkaman atas suara-suara pembela Palestina.
Namun, di balik dukungan terbuka AS terhadap Israel, muncul krisis moral dan tekanan dari dalam. Masyarakat sipil Amerika, kalangan kampus, jurnalis independen, hingga sejumlah anggota Kongres mulai bersuara menentang pembunuhan massal yang dilakukan atas nama geopolitik. Ini membuka celah penting bagi narasi perlawanan yang dikembangkan Iran.
Banyak pihak mempertanyakan mengapa Iran bersikeras mempertaruhkan segalanya dalam membela Palestina. Jawabannya sederhana: bagi Iran, Palestina bukan sekadar isu luar negeri, tapi prinsip revolusi. Republik Islam Iran lahir dari semangat menentang ketidakadilan global. Dukungan terhadap Palestina bukan strategi politik pragmatis, melainkan bagian dari identitas negara itu.
Lebih dari itu, Iran belajar dari pengalaman negara-negara tetangganya. Irak dihancurkan oleh invasi Amerika dan tak pernah pulih. Libya runtuh. Suriah disulut perang proksi. Yordania dan Arab Saudi memilih diam dan pragmatis, tapi dengan harga diri yang hilang. Iran menolak jalan itu.
Dengan segala risikonya, Iran memilih melawan—karena tunduk berarti lenyap.