Terastoday.com- Menginjak usia 76 tahun, semakin banyak penambahan di organisasi kita. Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang terus berusaha eksis, dalam setiap periode zaman.
Bukan hanya pertambahan kader, namun pertambahan kritik konstruktif hingga destruktif terus bergulir, sebagai upaya mendewasakan himpunan. Dan mempertegas cita-cita HMI dalam menempa setiap kadernya menjadi insan ulil-albab. Manusia-manusia yang mengedepankan akal sehat, dalam melerai masalah, dan senantiasa tawadhu dalam menerima kritik dari berbagai kalangan.
Tantangan Zaman
Perubahan zaman yang terus berlari kencang, menghadirkan sebuah fenomena serba cepat dalam menggembleng segala hal. Proses pendidikan dan perbaikan karakter anak bangsa, tak luput dari fenomena ini. Sebuah proses cepat yang tidak dibarengi dengan penguatan kualitas, hanya akan menghasilkan manusia-manusia gila eksistensi yang serba instan. Di era ini, proses pendidikan berjalan dengan cepat.
Alhasil, manusia-manusia yang keluar dari praktik pendidikan formal, hanya menjadi manusia-manusia yang bermental kerupuk, tak tahan gempuran zaman, dan gampang menyerah. Sehingga sekali lagi, memilih jalur instan. Tak heran, jika jurusan “orang dalam” menjadi minat yang menjamur di banyak kepala para generasi muda.
Hilangnya etos belajar, dan optimisme masa depan, menjadi penyakit masa kini. Jika ini dibiarkan, maka pemuda dipastikan akan berakhir tragis di panggung peradaban. Sungguh fakta yang akan membuat Presiden Soekarno merevisi kalimatnya, tentang 10 pemuda yang bisa mengguncang zaman.
Seluruh fenomena ini, adalah karakteristik dari kapitalisme di era modern. Jika dulu, kapitalisme banyak berselingkuh dengan feodalisme dan imprealisme, kini, kapitalisme bergerak dalam laju perputaran zaman. Mendorong terciptanya banyak produk, di tengah produsen yang sedikit. Banyaknya sarjana di tengah, sempitnya tenaga kerja.
Alhasil, disparitas tak bisa dihindari. Fluktuasi harga menjadi kebiasaan yang mendera bangsa ini. Gelompang produk, dimuntahkan ke para konsumen. Jika, generasi kini tidak kritis melihat produk zaman, maka akan sangat mudah terjerumus dalam godaan keburukan, yang dikemas dalam canggihnya teknologi informasi.
Tantangan ini menjadi tugas besar HMI, sebagai organisasi mahasiswa Islam yang mengaku paling dewasa dalam dinamika kebangsaan. HMI sebagai organisasi keummatan dan kebangsaan, memiliki tugas perkaderan dan perjuangan dalam upaya menjawab tantangan zaman. Namun sayangnya, di usia menjelang satu abad ini, HMI malah (sering) ikut tergerus dengan polarisasi zaman, yang bercorak kapitalis birokrat.
Tak terhitung banyaknya produksi kader, yang lahir dalam setiap basic training. Pun para sarjana, magister, doktor hingga professor yang lahir dari rahim HMI dan mengisi berbagai bidang di negeri ini, kering akan gagasan dan upaya melahirkan perubahan besar bagi terpuruknya kondisi kebangsaan.
Padahal, formasi ini, benar-benar ampuh untuk melakukan gerakan rekayasa keummatan, melakukan perubahan besar-besaran untuk tidak disebut revolusi di negeri ini.
Kelebihan ini, malah disalahgunakan oleh HMI. Para kader yang lahir dari proses instan dan jauh dari karakter ulil-albab, malah memanfaatkan jejaring HMI untuk mencari penghidupan dan mengamankan posisi. Fakta ini menjadi bukti, bahwa HMI telah terhegemoni dengan karakter kapitalisme, Krisis ideologi dan menjamurnya karakter hedonis, menjadi masalah besar HMI masa kini.
Kemunduran Pengaderan
Menjamurnya karakter hedonis merupakan bukti kemunduran pengaderan HMI. Lemahnya doktrin ideologis, dan kultur organisasi, menjadikan HMI menghasilkan kader-kader hedonis dan cacat karakter.
Basic Training HMI, kini terbilang instan, demi menghindari keribetan. Langkah ini adalah strategi HMI, untuk bisa terus menggalang massa, ditengah kondisi mahasiswa yang tergerus jiwa apatis. Pada posisi ini, pendampingan setelah mengikuti Basic Training, menjadi penting untuk tetap membuat anggota baru berkualitas Insan Ulil-albab.
Namun, alih-alih mengalami kemajuan kualitas. Kemunduran tampak jelas dalam eksistensi kader HMI, yang seringkali redup dan tenggelam dalam apatisme. Banyaknya masalah kebangsaan, tidak diikuti oleh sikap tegas kader HMI. Pun jika ada, eksistensi kader, malah sering hadir dalam ruang-ruang ceremonial, dan hampa akan gagasan otentik.
Fakta ini terlihat jelas dalam momentum nasional tertinggi di organisasi. Kongres HMI yang digelar dengan megah dan banyak menghabiskan dana ummat, malah berakhir ricuh dalam hal-hal sepele.
Perdebatan sengit malah terjadi dalam persoalan teknis. Bukan pada rekomendasi Kongres, yang menjadi wadah penampungan aspirasi dan gagasan besar, dalam menentukan arah gerak HMI ke depan, sebagai tanggungjawab moral organisasi. Para kader malah sibuk membangun konsolidasi politik praktis di warung kopi, apartemen hingga hotel-hotel megah, sembari menghabiskan dana ummat yang disedekahkan negara.
Sekali lagi, tingkah laku korup seperti ini, adalah imbas dari kemunduran pengaderan HMI.
Transformasi Gerakan
Banyaknya persoalan pengaderan membuat HMI harus melakukan evaluasi sekaligus membenahi internal organisasi. Ratusan buku yang menumpuk di sekretariat organisasi, akan percuma jika hanya habis dalam ruang-ruang diskusi teoritis, dan cacat praksis.
Jutaan anggaran yang habis untuk membiayai kegiatan, hanya akan menghasilkan organisasi yang modern secara tampilan, namun kuno secara pemikiran. Pengaderan HMI benar-benar harus dibenahi.
Kultur perkaderan HMI yang kuat secara ideologis, harus kembali ditanamkan kepada seluruh kader. Diskursus intelektual, menjadi inti HMI dalam mengadakan kegiatan organisasi. Kader HMI harus dibiasakan dekat dengan wacana keilmuan, secara militan. Sehingga, nilai-nilai khittah perjuangan dan karakter insan ulil-albab, perlahan tertanam dengan kuat.
Hal ini bisa membuat kader HMI lahir dengan kualitas yang mumpuni, dan menjadi langkah HMI dalam memperbaiki generasi didikannya, di masa depan. Para kader dan pengader yang lahir dari kondisi HMI seperti ini, akan menjadi para cerdikiawan, yang meskipun kecil secara kuantitas, namun besar secara kualitas.
Keberhasilan membenahi proses pengaderan HMI, akan mendorong kader berani menyatakan sikap atas kondisi kebangsaan, dengan kapasitas intelektual yang mumpuni dan telah ditempa di berbagai forum perkaderan. Kader HMI akan siap mengambil peran strategis, untuk melakukan perubahan, menuju tatanan masyarakat yang di ridhoi Allah SWT.
Tentunya, dengan kultur perkaderan yang kuat, membiasakan kader melakukan diskursus intensif dalam persoalan keislaman dan keindonesiaan.
Intelektual Puritan
Saya teringat ulasan Kanda Sabara Nuruddin. Tentang dua wajah HMI yang sangat paradoks (Baca: HMI MPO: Ideologi dan Gerakan). Di satu sisi, HMI menjadi organisasi yang secara nomatif berdiri dalam naungan Islam secara kaffah.
Sedangkan disisi lain, HMI mewajibkan kadernya untuk berdaya secara intelektual independen, yang dapat mendorong kader HMI untuk bebas berekspresi, sesuai kapasitas intelektualnya, tanpa bergantung pada pihak diluar dirinya sendiri. Bahkan, salah seorang Alumni HMI pernah berkata, “anak HMI ketika sudah turun demo. Tak ada yang bisa mencegah. Jangankan seniornya, tuhan saja tidak akan mereka dengarkan”.
Sebuah ucapan singkat, yang dapat mengartikan makna independensi kader HMI. Dua sisi HMI yang paradoks ini, ternyata bisa berjalan beringingan, dalam setiap proses perkaderan dan perjuangan organisasi.
HMI selalu mempunyai dua bekal, yang harus terus dipertahankan. Yaitu esensi Jiwa intelektual puritan, dan eksistensi nilai gerakannya. Spirit intelektual puritan, menjadi norma yang harus dipatuhi oleh setiap kader. Sementara eksistensi, menjadi tantangan HMI dalam mempraktekkan gagasan intelektualnya, yang seringkali tidak bisa tunduk dalam gagasan ortodoks dan fundamentalis.
Pembenahan proses perkaderan, akan menguatkan kultur HMI sebagai organisasi berbasis gerakan intelektual puritan. Kemampuan ini menjadi esensi gerakan HMI, dalam memperjuangkan cita-citanya. Sedangkan eksistensi gerakan, dibutuhkan daya cipta dan kreatifitas kader, dalam meramu setiap gerakan organisasi, untuk bisa eksis dan terterima dalam setiap periodesasi zaman.
Modernisasi Gerakan
Tranformasi zaman, kian menuntut HMI untuk terus berbenah dalam konsep perkaderan dan perjuangan. Pemahaman dan pemanfaatan teknologi, harus dilakukan HMI dalam mempraktekan seluruh gagasan intelektualnya. Implementasi gerakan, dengan pemanfaatan teknologi yang mumpuni dapat menambah nilai gerakan, dan memudahkan HMI untuk lebih dekat dengan cita-citanya.
Kader HMI harus tampil berani di media-media baru, dan memberikan pencerahan lewat gagasan intelektualnya. HMI bisa menggalang dukungan massa, melalui media sosial dengan visualisasi yang modern.
Namun sayang, konsep pergerakan dengan mengoptimalkan teknologi, masih kurang dipahami oleh kader HMI. Ketidak mampuan membaca wacana kekinian, seringkali membuat HMI dipandang tidak kompatibel dengan perkembangan ilmu pengetahuan masa kini.
Tak jarang, pergerakan HMI sudah tidak mendapatkan atensi dari kalangan masyarakat. Sementara kadernya, masih terjebak dalam teori-teori rumit, yang tidak teruraikan dengan baik dalam gerakan.
HMI harus belajar, untuk mengoptimalkan teknologi modern, yang disuguhkan oleh perkembangan zaman. Bukan malah lari, dan mengutuknya, hanya karena tidak mampu memahaminya dengan baik. Diskursus teknologi, harus mendapatkan ruang dalam setiap pergerakan HMI.
Sehingga, kerativitas akan terasah dengan baik, dan HMI bisa terus memformulasikan gerakannya dengan baik pula. Pada titik ini, kader HMI akan terbiasa dengan kerja-kerja organisasi modern, yang membuatnya bisa berdaya saing dalam intelektual, dan mandiri dalam finansial.
HMI tidak bisa lagi, mengurung diri dengan diskusi teori-teori utopia yang melangit, namun tak mampu dibumikan dengan baik. Gagasan tranformasi HMI, mendorong setiap kader untuk kreatif dalam membaca perkembangan zaman, sekaligus memiliki daya cipta formulasi gerakan kedirian dan organisasi ke depan.
Terciptanya intelektual kreatif, dan borjuasi independen, menjadi bekal dalam mentransformasikan gagasan HMI dimasa kini, yang cerdas, dan mandiri.
Penulis: Moh. Rifaldi Hapili (Ketua HMI Badko Sulutgo)